Catatan
aja, saya menuliskan ini bukan untuk membuat takut naik gunung, hanya ingin
berbagi cerita saja.
Kalo
sebelumnya saya menuliskan isi Arjuno dari sisi perjalanan dan keindahannya,
kali ini saya ingin menuliskan dari sisi lainnya lagi.
Saya
pertama kali ke Arjuno lewat jalur Cangar. Itu baru kali kedua saya naik gunung
setelah Gunung Panderman. Jadi masih newbie banget. Saya naik berlima dengan
dua orang teman seusia saya dan dua orang senior dari mapala. Bisa dikatakan dua
orang dari mapala ini udah sering bolak- balik naik gunung, apalagi Gunung
Arjuno. Hari pertama kita memutuskan untuk camp
di watu tumpuk (yang ada pohon tumbangnya). Tempatnya tidak terlalu luas, tapi cukup untuk beberapa tenda. Kami semua berada di satu tenda
yang cukup besar. Tengah malam saat semua tertidur, tiba- tiba saya merasa
tangan saya panas, lalu memegang kening saya ternyata juga panas, tanpa tau kenapa
seluruh badan saya menjadi panas dan merasa sedikit sesak nafas. Dan jadilah saya membangunkan rekan lainnya.
Saya diberi obat penurun panas. Alhamdulillah keesokan harinya sudah normal
kembali. Lalu hari kedua sampai hari keempat semua aman terkendali.
Kejadian
aneh kembali terjadi saat dari Lembah Kembar akan turun ke desa Sumber Brantas.
Saya berjalan diurutan kedua, salah satu senior berjalan didepan saya. Entah mengapa
tiba- tiba senior yang didepan saya berlari meninggalkan saya dan rekan yang
dibelakang. Dan jadilah saya yang berjalan didepan. Ada satu kejadian yang
sangat saya ingat. Jalur yang kita lewati saat itu hanya ada satu jalur
setapak, lalu saya menoleh kebelakang untuk melihat rekan saya, karena saya
tidak mendengar lagi langkah kaki rekan yang dibelakang. Lalu saat saya sudah
melihat rekan saya dibelakang, saya kembali melihat jalan didepan untuk meneruskan
perjalanan. Dan yang terjadi adalah jalan didepan saya menjadi dua jalur. Kiri
dan kanan. Percaya gak percaya aja sih, tapi itu terjadi kepada saya.
Dan
perjalanan tetap kami teruskan menuju desa terakhir. Saat sudah tiba di
peradaban, saya kembali bertemu dengan senior yang meninggalkan kita tadi.
Perseteruan antar senior ini pun tak dapat dihindari. Singkat cerita saja,
ternyata senior didepan saya tadi lari meninggalkan kami karena dia dikejar
oleh harimau. Yang dia maksudkan harimau itu, bukan harimau sungguhan,
melainkan dari alam lain.
Kejadian
lainnya saya alami saat naik Arjuno, berangkat melalui jalur Kaliandra, turun
melalui jalur Cangar. Saya naik berempat, dua orang senior dan satu siswa yang
sedang pendidikan. Salah satu senior saya adalah orang yang menguasai ‘ilmu
begitu’. Pahamkan maksud saya ilmu apa?
Saya ke
Arjuno setelah dua minggu ada korban yang meninggal di Gunung Kembar 2. Hari
pertama hingga hari ketiga semuanya masih aman terkendali. Hari ketiga kami camp di Lembah Kembar. Hari keempat,
pagi harinya salah satu senior dan siswa yang sedang pendidikan melanjutkan
perjalanan ke Welirang dan siangnya mereka langsung kembali ke Lembah Kembar.
Di camp tinggal saya dan senior
‘berilmu’ untuk masak dan packing. Karena sore itu juga kami akan langsung
kembali ke desa Sumber Brantas. Sekitar jam 10 pagi, suasana di Lembah Kembar
sudah berkabut, angin, dan sedikit hujan rintik. Hawa yang dingin, membuat saya
ingin buang air kecil. Akhirnya saya memutuskan berkeliling Lembah Kembar untuk
mencari tempat buang air. Ada suatu yang agak tertutup, saya memutuskan buang
air disitu. Entah mengapa saya langsung merinding dan merasa banyak mata yang
sedang mengawasi. Setelah urusan selesai, segeralah saya pergi dari tempat itu dan kembali ke camp. Pukul 11, dua kawan yang dari
Welirang belum juga kembali. Dan kemudian terjadi percakapan antara saya dan
senior ‘berilmu’.
Senior
Berilmu (SB) : “Kamu gak ngerasa
aneh disini? Kamu udah ngeliat apa aja selama perjalanan kemarin?”
Saya (A) : “Gak ngeliat apa-apa
sih mas. Cuma tadi ngerasa aneh aja pas aku buang air disana (sambil nunjuk
tempat saya buang air tadi), kayak ada yang ngawasin gitu mas.”
SB : “Wah, ya
mesti. Orang itu tempat kita minta petunjuk pas ada yang ilang kemarin kok”
A : “Cari
petunjuk? Sholat gitu?”
SB : “Ya enggak.
Kayak pake ilmu- ilmu laen gitu. Kita pake lokasi disana.”
Seketika
saya terdiam. Tidak berminat melanjutkan pembicaraan. Tetapi senior ‘berilmu’
itu tetap bercerita tentang jalannya evakuasi korban kemarin. Menurut
ceritanya, sebenarnya lokasi korban ditemukan sudah dilewati berulang-ulang
tapi korban tidak tampak atau ‘tertutup’ gitu. Katanya sih begitu.
Setelah
dua kawan saya yang dari Welirang tiba di Lembah Kembar, kami melanjutkan
perjalanan ke desa Sumber Brantas. Saat perjalanan turun, saya diurutan kedua,
depan saya senior ‘berilmu’, belakang saya ada siswa yang sedang pendidikan dan
paling belakang senior yang satu lagi. Hujan pun menemani perjalanan turun. Dan
tidak terasa kami terpisah jarak. Saya dan senior ‘berilmu’ jalan lebih depan.
Sedangkan dua orang lainnya masih dibelakang. Saya dan senior ‘berilmu’ pun
memutuskan untuk menunggu di watu tumpuk (yang ada pohon tumbangnya, tempat
saya dulu pernah camp). Saya mencoba
tiduran di pohon tumbang itu. Tiba- tiba saya mendengar suara langkah kaki yang
sedang berlari dari belakang saya. Saya pun terbangun, karena saya kira itu adalah
suara langkah teman saya. Ternyata saat saya tunggu tidak ada orang yang
datang. Refleks aja mata saya mencari senior ‘berilmu’, ternyata beliau sedang
berdiri memandangi saya sambil tersenyum dengan jarak sekitar 50 meter dari
tempat saya.
Saya
tidak mau terlalu memikirkan itu tadi suara apa, saya mengalihkan fokus dengan keceh, istilah lain dari bermain air.
Ciprat dan lompat sana- sini saat hujan menyenangkan sekali. Senior ‘berilmu’
tetap mengawasi saya sambil tersenyum. Karena kami terlalu lama menunggu, rasa
dingin mulai menyergap. Kami berdua memutuskan untuk melanjutkan perjalanan
turun dengan perlahan sambil menunggu dua kawan yang dibelakang. Tiba- tiba
senior ‘berilmu’ berkata kepada saya.
SB : “Eh, berhenti bentar.”
A : “Kenapa mas?”
SB : “Kamu denger suara gak?”
A : “Suara apa? Gak denger tuh mas” (sambil
memfokuskan pendengar untuk menangkap suara yang dimaksud)
SB : “Masa sih gak denger? Coba deh dengerin.”
A : (masih berusaha menangkap suara yang
dimaksud)
Dan
seketika saya mendengar suara gending/gamelan jawa yang indah banget. Saya pun
kaget.
A : “Loh mas, itu beneran suaranya?”
SB : “Iya beneran, lah kamu kira maen-maen.”
Akhirnya
saya berpikiran kalo itu suaranya dari desa yang dibawah. Tapi suara itu
menghilang begitu saja.
Dan tidak
terasa tibalah kami di desa Sumber Brantas. Terjadilah kembali percakapan
diantara kami.
SB : “Gimana perjalanan hari ini? Ada yang
aneh gak?”
A : “Ya lumayan mas. Suara gamelan jawanya
gak bisa terlupakan”
SB : “Hahaha gppa biar kamu tau”
A : “Lah itu suara gamelannya beneran apa
enggak sih? Maksudku orang atau yang lain?”
SB : “Hahaha bukan orang itu yang maen. Eh,
kamu tadi main keceh (maen air) sama siapa?”
A : “Hah? Emang sama sapa mas?”
SB : “Iya tadi ada yang nemenin kamu maen air
gitu loh. Gak keliatan tah?”
A : “Hah?!?”
Saya pun
terdiam.
Itu
beberapa kejadian yang pernah saya alami. Saya yakin, selama tidak berniat jahat atau mengganggu, tidak akan diganggu. Dan mungkin masih banyak yang lebih horror
dari pengalaman saya. Tapi saya tidak mau tau. Sekian.
Komentar
Posting Komentar