Perantau.
Kata yang sering saya
pikirkan setelah lepas SMA. Selalu membayangkan bahwa, menjadi perantau di
tempat orang akan mengasyikan. Berpikir ketika menjadi perantau akan bebas main
kemanapun dan tidak akan ada yang mengatur. Secara sejak kecil, saya selalu
bersama orangtua, dan kebetulan saya anak terakhir perempuan. Jadi untuk
merasakan bebas kemanapun agak susah.
Akhirnya saat kuliah saya
mendapatkan kesempatan menjadi perantau. Meskipun hanya beberapa bulan saja.
Saya merasakan menjadi perantau di daerah Jawa Tengah dan Jogja. Oh My God
semua seperti yang aku bayangkan. Bisa bebas kemanapun dan tidak ada yang
mengatur.
Tapi tau kah, bahwa
dibalik itu ternyata tetap banyak hal yang tak pernah saya bayangkan
sebelumnya.
1. Makan
Saat tinggal bersama
orangtua, ibu saya selalu menyediakan makanan untuk saya. Menu yang disajikan
pun berbeda beda setiap harinya. Saya tak pernah repot memasak. Hanya tinggal
makan, ketika lapar. Dan selalu diingatkan untuk makan. Tapi saat menjadi
perantau, ketika lapar saya harus mencari makan terlebih dulu. Makanan yang ada
pun hanya itu- itu saja. Bosan. Apalagi saya juga tidak terlalu cocok dengan
makanan manis dan saya juga tidak terlalu suka makan mie instan. Sebenarnya saya lebih suka memasak sendiri, tapi saya tidak
punya waktu yang cukup untuk itu. Karena sebagian besar waktu saya tersita
untuk magang. Dan tidak ada yang mengingatkan saya untuk makan.
Alhasil, jadwal makan saya
berantakan sekali saat menjadi perantau hahaha.
2. Sakit
Saat bersama orangtua,
ketika sakit saya selalu mendapat perhatian. Tapi ketika menjadi perantau,
siapa yang mau perhatikan? Sebenarnya saya sedikit beruntung, saat sakit ibu
kos ditempat saya selalu menawarin untuk kerokin atau pijitin badan, cuma
karena saya tidak biasa kerokan atau pijit badan jadi menolaknya.
3. Teman Berbicara
Ketika dirumah, saya
selalu memiliki ibu dan kakak yang bisa menjadi teman bicara saya. Saya bisa
bercerita apapun dengan mereka. Tapi saat merantau mau bercerita dengan siapa? Dengan
teman satu kos? Iya kalo teman itu mau mengerti apa yang kita ceritakan, kalo
hanya menambah beban untuk apa bercerita. Karena itu, sesibuk apa pun ditempat
magang, saya selalu berusaha untuk menyempatkan berkomunikasi dengan orangtua.
Baik itu cuma melalui chat atau
telpon.
4. Uang
Menjadi perantau saya
yakin pernah merasakan kanker (kantong kering) hahaha. Saya pun demikian, terjadi
saat awal-awal menjadi perantau. Mau minta kirim orangtua lagi rasanya malu.
Tapi dengan itu akhirnya saya belajar untuk mengolah finansial.
5. Homesick
Para perantau pasti juga
pernah mengalami hal ini. Rindu rumah. Ingin pulang tapi masih ada
tanggungjawab yang harus diselesaikan. Ingin pulang tapi tak ada uang. Ingin
pulang tapi takut berat saat harus kembali merantau. Karena saat sudah pulang
kerumah dah harus kembali ke perantauan itu rasanya berat sekali. Hahahaa.
Tapi dibalik itu semua
tetap ada pelajaran yang bisa saya ambil. Saya bisa lebih menghargai waktu
ketika bersama orangtua. Saya belajar lebih mandiri lagi, untuk tidak
bergantung dengan siapapun. Dengan menjadi perantau saya menyadari bahwa rumah
adalah tetap tempat ternyaman.
Sejauh-jauhnya kita pergi, kita tetap akan
pulang.
Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang. - Imam Syafi'i -
Komentar
Posting Komentar