My Deepest Condolences

Selasa (15 November 2016), Ibu mengajak saya untuk menjenguk saudara di rumah sakit. Adik dari Ayah Ibu saya sakit. Saya memanggilnya dengan sebutan Pakde. Ketika datang menjenguknya, sungguh tidak tega melihat keadaannya. Badannya begitu kurus, pandangannya sangat lelah, dan di tangannya terpasang infus. Saat itu, Bude, istri dari Pakde, bercerita bahwa Pakde ingin sekali makan gudeg yang enak. Karena sudah beli dua kali di Malang rasanya tidak pas. Saya yang tidak begitu suka makan gudeg, juga tidak bisa merekomendasikan gudeg yang enak di Malang, hanya tau yang ada di Jogja.

Saat perjalanan pulang ke rumah saya masih kepikiran dengan Pakde yang ingin makan gudeg. Tiba- tiba saya teringat teman saya yang dari Jogja akan pulang ke Malang tanggal 16 November 2016. Alhasil, malam itu saya hubungi teman saya, untuk membawakan gudeg ternama dari Jogja, dan teman saya bersedia membawakannya.

Tanggal 17 November 2016, setelah dari kampus dan mengambil gudeg dari teman, saya dan Ibu segera ke rumah sakit untuk mengantarkan gudegnya. Senang tak terhingga saat melihat Pakde mau makan gudegnya. Bude dan anak- anaknya pun terlihat senang. Setelah Pakde selesai makan, saya dan Ibu segera pamit untuk pulang.

Saya berpamitan dengan Pakde sambil menggenggam tangannya yang hanya terbalut oleh kulit. Pakde cepat sembuh ya, makan yang banyak biar cepat pulang ya. Nanti ketemu lagi udah dirumah ya Pakde.

Kemudian saya pamit ke anak- anaknya Pakde juga.
Saya   : “Mas, pulang dulu ya, soalnya mau ada acara ini.”
Anak  : “Iya dek, ati- ati ya, makasi loh udah dibawain gudeg.”
Saya   : “Iya mas, sama- sama.”
Anak  : “Sampai ketemu lagi ya.”
Saya   : “Loh ya, jangan disini ketemunya. Nanti ketemu lagi dirumah aja.”
Saya dan anak- anaknya pun tertawa sambil melambaikan tangan dan beranjak pergi.

Sabtu, 19 November 2016 (pk. 17.35)
Ibu datang ke kamar saya dan berkata jika Pakde sudah dipanggil Yang Maha Kuasa. Saya hanya terdiam ketika mendengar kabar itu dan teringat kalimat terakhir yang saya ucapkan kepada Pakde.

Ibu menyuruh saya untuk menelepon salah satu anak Pakde untuk mengkonfirmasi kebenaran kabar tersebut. Dan saat saya konfirmasi, ternyata kabar tersebut benar. Alhasil, setelah Isya, saya dan Ibu segera menuju ke rumah Pakde yang tidak jauh dari rumah. Dirumahnya sudah ramai dengan warga sekitar. Jenazah Pakde juga sudah berada dirumah. Entah mengapa, air mata dan kesedihan tak bisa saya hindari, saat melihat tubuh kurus itu terbaring tak bernyawa. Selamat jalan Pakde semoga kau bahagia berada disisiNya.


Ya ini lah hidup, meninggalkan atau ditinggalkan. Mau seberapa sedihnya akan rasa ditinggalkan, tetap saja kita harus melangkah kedepan untuk tetap hidup. Karena kesedihan tak akan menghidupkan yang telah pergi.

Komentar