Beberapa minggu ini pemberitaan tentang demo angkutan kota
sedang merajalela di Indonesia. Angkutan kota (angkot) demo untuk menolak
adanya transportasi online. Yang menurut mereka, merugikan mereka. Secara saat
ini banyak sekali masyarakat khususnya generasi muda yang lebih memilih
menggunakan transportasi online daripada konvensional.
Di Malang, tanggal 6 Maret 2017, terjadi demo angkot masal
Jilid 2. Oke Jilid 2, karena sebelumnya juga pernah terjadi demo masal. Tadinya
aku pikir demo ini hanya berlangsung satu hari, sama seperti demo sebelumnya. Tapi
ternyata demo ini berlangsung selama 4 hari bro hahahaa...
Ya buat pengendara sepeda motor macem aku, sih enak- enak aja
gak ada angkot berkeliaran. Tapi untuk orang yang kesehariannya menggunakan
angkot ya kasian banget. Dan pada hari kedua demo masal, di Malang ada gerakan #nebengmalang.
Itu adalah aksi relawan malang, bisa berasal dari berbagai profesi dan kalangan yang secara sukarela membantu untuk memberi tumpangan kepada orang yang
membutuhkan. Caranya adalah calon relawan tinggal mendaftarkan diri ke posko #nebengmalang
yang ada di Telkom Kayoetangan. Setelah daftar akan diberi kertas dengan tulisan
relawan untuk ditempelkan pada kendaraan. Dan sayangnya aku baru bisa bergabung
hari Kamis (hari terakhir demo), karena hari sebelumnya masih ada urusan yang
harus diselesaikan. Rasanya jadi relawan macam itu adalah seneng banget, bisa
berguna untuk orang lain.
Nah demo pun ternyata tak hanya terjadi di Malang, tapi juga
di kota lainnya, seperti Bandung, Tangerang dan lain- lain. Tak jarang tindakan
anarkis dilakukan para pendemo. Itu sangat mengecewakan sekali.
Setelah demo berakhir, keluarlah beberapa hasil dari demo
tersebut, salah satunya adalah bahwa Malang masih belum memerlukan transportasi
online. Hari ini pun aku membaca di media online, bahwa Walikota Solo pun
beranggapan, bahwa Solo belum memerlukan transportasi online. Bagaimana bisa
pemerintah berpikiran seperti itu? Mereka udah pernah belum sih jadi orang
biasanya yang menggunakan angkutan umum?
Baiklah
kita coba lihat Online Vs Konvensional
versi aku.
Setidaknya itulah plus minus Online vs Konvensional menurut
versiku, karena aku juga pengguna angkot dan pernah beberapa kali hampir
kecopetan. Ojek konvensional pun gak kalah menyeramkan (pernah gak dikasih helm saat berkendara). Kalo yang lain berpikiran berbeda ya silakan. Yang jelas kalo ingin
tetap mempertahankan transportasi konvensional, coba deh perbaiki sistemnya. Misalnya
dibikin kayak Trans Jogja gitu. Ada jadwal yang pasti, kalo oper trans gak
bayar lagi, nyaman (berAC), ada kondekturnya (aman), ya meskipun driver Trans
Jogja kalo nyetir brutal. Sekarang biarlah masyarkat yang memilih ingin menggunakan transportasi apa.
Note
: Jangan demo lagi ya, kasian anak istri dirumah gak dapat pemasukan.
Komentar
Posting Komentar